Bismillaah. Tahun ini insyaaAlloh akan menikmati lebaran di Medan, kampung halaman saya. Akan jadi perjalanan mudik yang lain dari biasanya. Karena kami memutuskan untuk melewati jalur darat. Semarang-Medan, akan dilalui selama 4 hari 3 malam. Dengan teman seperjalanan berjumlah tiga keluarga yang menggunakan tiga unit mobil. Semoga semuanya lancar dan tidak ada halangan apapun. Aamiin.
...blushing...
"As beautiful as woman's blush..."
Wednesday, July 8, 2015
Tuesday, July 7, 2015
Ketika Membayar Hutang Tidak Didahulukan
Pernah punya pengalaman dihutangi sangat lama, lalu si pemilik hutang pura-pura lupa dengan kewajibannya?
Saat ini saya sedang sangat gondok. Eh, sudah dari dulu sih gondoknya. Seseorang berhutang jutaan sejak 2013, tapi hingga pertengahan 2015 ini, sepeserpun pelunasannya tidak dicicil. Okelah, jika dia memang sangaaat kekurangan. Tapi... Coba tebak. Dia bisa membeli beragam barang yang termasuk kategori kebutuhan tersier. Bisa beli motor baru meski kredit, mesin cuci yang front load, bisa rutin ke klinik kecantikan.
Saya saja cuma pakai krim wajah yang bisa dibeli bebas di pasaran. Motor juga motor tua. Kok hidupnya bisa lebih mewah dibandingkan saya yang punya piutang. Dia berhutang banyak, tapi tidak ada kesadaran membayar. Jika ditagih, lagaknya seperti orang kekurangan. Meminta saya pengertian dengan kondisi keuangannya. Dan dikira saya bodoh, kalau kondisi keuangan sedang buruk, kenapa bisa belanja banyak barang?
Entahlah, mungkin Tuhan mengabulkan 'doa' dalam ucapannya. Kondisi keuangannya saat ini benar-benar anjlok. Suaminya tak menerima gaji selama beberapa bulan. Dia sudah mengajukan pinjaman lagi ke pihak lain. Ke saya, mana berani dia meminjam lagi.
Mungkin terlihat kejam, saya mensyukuri kondisinya yang sekarang. Ini mungkin puncak kekesalan saya. Saya yang punya kebutuhan mendesak sampai berkorban karena uang saya banyak tertahan di dia. Saya tidak bisa lagi berbaik-baik dengan dia. Biar dia rasakan bagaimana kondisinya. Biar dia sadar, bahwa hutang itu wajib dilunasi.
Jika ada uang lebih, bayarlah hutang terlebih dahulu, baru digunakan untuk foya-foya. Bukan malah kebalikan. Foya-foya dahulu, hutang dilupakan. Akhirnya ya begitu, hasil foya-foya bukannya berkah, malah jadi musibah. Semoga kita semua terhindar dari perilaku senang menunda membayar hutang seperti itu.
Saat ini saya sedang sangat gondok. Eh, sudah dari dulu sih gondoknya. Seseorang berhutang jutaan sejak 2013, tapi hingga pertengahan 2015 ini, sepeserpun pelunasannya tidak dicicil. Okelah, jika dia memang sangaaat kekurangan. Tapi... Coba tebak. Dia bisa membeli beragam barang yang termasuk kategori kebutuhan tersier. Bisa beli motor baru meski kredit, mesin cuci yang front load, bisa rutin ke klinik kecantikan.
Saya saja cuma pakai krim wajah yang bisa dibeli bebas di pasaran. Motor juga motor tua. Kok hidupnya bisa lebih mewah dibandingkan saya yang punya piutang. Dia berhutang banyak, tapi tidak ada kesadaran membayar. Jika ditagih, lagaknya seperti orang kekurangan. Meminta saya pengertian dengan kondisi keuangannya. Dan dikira saya bodoh, kalau kondisi keuangan sedang buruk, kenapa bisa belanja banyak barang?
Entahlah, mungkin Tuhan mengabulkan 'doa' dalam ucapannya. Kondisi keuangannya saat ini benar-benar anjlok. Suaminya tak menerima gaji selama beberapa bulan. Dia sudah mengajukan pinjaman lagi ke pihak lain. Ke saya, mana berani dia meminjam lagi.
Mungkin terlihat kejam, saya mensyukuri kondisinya yang sekarang. Ini mungkin puncak kekesalan saya. Saya yang punya kebutuhan mendesak sampai berkorban karena uang saya banyak tertahan di dia. Saya tidak bisa lagi berbaik-baik dengan dia. Biar dia rasakan bagaimana kondisinya. Biar dia sadar, bahwa hutang itu wajib dilunasi.
Jika ada uang lebih, bayarlah hutang terlebih dahulu, baru digunakan untuk foya-foya. Bukan malah kebalikan. Foya-foya dahulu, hutang dilupakan. Akhirnya ya begitu, hasil foya-foya bukannya berkah, malah jadi musibah. Semoga kita semua terhindar dari perilaku senang menunda membayar hutang seperti itu.
Monday, July 6, 2015
Balada Daster
Jadwal pulang kampung sudah semakin dekat. Tentunya yang terpikir pertama kali saat pulang kampung adalah oleh-oleh. Karena kondisi di perjalanan nanti yang kurang memungkinkan untuk membawa makanan, jadilah suami mengusulkan untuk membawa oleh-oleh batik.
Karena kami kurang mengerti seluk beluk Semarang, jadi bingung mau beli batik di mana. Dulu mungkin langsung terpikir ke Pasar Johar. Tapi semenjak Pasar Johar terbakar, kami tidak punya referensi lain. Akhirnya kami putuskan berselancar di om google, dan ketemu satu toko batik yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah, hanya memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan.
Sampai di sana, saya kurang sreg dengan produk-produknya. Suami, melalui BBM, menyarankan untuk langsung pulang saja. Tapi karena saya hanya sendirian dan segan dengan pramuniaga yang melayani dengan (kelewat) ramah, akhirnya saya membeli dua potong daster sebagai 'syarat'. Yah ga enak rasanya pergi dengan tangan kosong setelah mengobrak abrik toko itu.
Saya pilih daster dengan harga yang paling rendah. Satu berharga Rp 30.000, dan satu lagi Rp 32.000. [Tapi entah kenapa yang Rp 32.000 sudah hilang harganya saat selesai membayar, hang tag nya seperti digunting].

Saat akan membayar, pramuniaga tadi menyuruh saya melihat-lihat dulu yang lain selagi dia membungkus belanjaan saya. Katanya takut bosan jika saya menunggu tanpa ada kerjaan. Saya pun menurut dan kembali keliling di rak toko.
Selesai dikemas, pramuniaga mendatangi saya tanpa membawa nota, apalagi struk. Karena memang tidak ada mesin hitung otomatis di sana. Lalu terjadilah percakapan seperti ini.
Pramuniaga : "Sembilan puluh lima ribu, Bu."
Saya : (kaget, harusnya kan hanya Rp 62.000 "Notanya mana, Mas?"
Pramuniaga : (gelagapan) "Oh notanya sudah habis, Bu."
Lalu pramuniaga membongkar laci dan menunjukkan buku nota yang sudah habis terisi. Saya melihat ke dinding, ada tulisan tertempel di dinding "Jika belanja tanpa nota, anda berhak mendapat ganti rugi senilai Rp 500.000" Saya cuma diam saja, tapi pandangan mata saya ke arah tulisan itu. Sepertinya pramuniaga itu tersadar dengan apa yang saya lakukan. Lalu dia tiba-tiba mendapatkan buku nota kosong dan pura-pura terkejut. "Oh, masih ada ternyata," katanya dengan gaya (sok) lugu.
Lalu dengan asal saja si pramuniaga menulis nota. Daster 1 dihargai Rp 45.000, yang kedua Rp 50.000. Dia menulis nota TANPA melihat produknya yang kebetulan sudah saya pegang. Kemudian saya membongkar kembali belanjaan saya untuk mengkonfirmasi harga sebenarnya.
Saya : "Loh, mas, harganya yang bener yang mana, ya?" Tanya saya sambil menunjukkan harga di hang tag. "Ini tulisan 30.000 maksudnya harga, kan? Tadi saya tanya katanya itu harganya di label? Kalau harganya bukan segini, terus maksudnya apa? Coba saya mau lihat daftar harga yang bener di mana? Ada catatan atau katalog ga?"
Pramuniaga : "Iya, bu. Di sini memang harganya beda-beda tergantung produk."
Saya : "Ya tapi ini kan yang saya beli tertera harganya 30.000. Mana daftar harganya? Saya mau lihat!"
Pramuniaga : (tetap dengan gaya (sok) lugunya) "Oh, sebentar bu, saya salah tulis harga."
Akhirnya pramuniaga menulis ulang notanya. Satu baju dengan harga Rp 30.000, dan satu lagi dengan asal-asalan dihargai Rp 40.000. Saya mau protes, tapi hang tag sudah dalam posisi tergunting, jadi harganya sudah tidak tercantum. Ya sudah, daripada puasa saya ga sempurna karena marah tak berkesudahan, saya ngalah.
Sambil dia menulis ulang nota, saya melihat ke arah kertas yang tertempel di dinding bertuliskan : "Untuk saran dan kritik silahkan hubungi , Manajemen E*** Batik" Saya langsung memegang hape dan mencatat nomor yang tertera. Pramuniaga memperhatikan tingkah saya yang seperti akan mengirimkan aduan ke manajemen toko tersebut. Lalu dia tak henti-hentinya memelas meminta maaf, sampai terucap kata tolong. "Tolong dimaafkan ya bu. Saya ga tahu. Saya ga akan ngulangin lagi." Tetap dengan gaya (sok) lugunya.
Saya senyum saja menanggapi permintaan maafnya. Minta maaf, okelah saya maafkan. Tapi bukan berarti saya diamkan saja aksinya itu. Kriminal kecil, kalau dibiarkan lama kelamaan akan menjadi besar. Karena tadi terlalu repot, saya sampai lupa mengirim aduan ke manajemen toko tersebut. Besok pasti saya adukan tingkah pramuniaga tersebut.
Ah, entahlah. Makin hari makin muak dengan tingkah pramuniaga toko yang curang seperti itu. Apa dia tak menyadari, bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan berkah? Semoga pramuniaga tersebut mendapat pencerahan segera. Sebelum dia terlalu nyaman dengan kecurangannya sampai lupa bedanya kebaikan dan kejahatan.
Karena kami kurang mengerti seluk beluk Semarang, jadi bingung mau beli batik di mana. Dulu mungkin langsung terpikir ke Pasar Johar. Tapi semenjak Pasar Johar terbakar, kami tidak punya referensi lain. Akhirnya kami putuskan berselancar di om google, dan ketemu satu toko batik yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah, hanya memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan.
Sampai di sana, saya kurang sreg dengan produk-produknya. Suami, melalui BBM, menyarankan untuk langsung pulang saja. Tapi karena saya hanya sendirian dan segan dengan pramuniaga yang melayani dengan (kelewat) ramah, akhirnya saya membeli dua potong daster sebagai 'syarat'. Yah ga enak rasanya pergi dengan tangan kosong setelah mengobrak abrik toko itu.
Saya pilih daster dengan harga yang paling rendah. Satu berharga Rp 30.000, dan satu lagi Rp 32.000. [Tapi entah kenapa yang Rp 32.000 sudah hilang harganya saat selesai membayar, hang tag nya seperti digunting].

Saat akan membayar, pramuniaga tadi menyuruh saya melihat-lihat dulu yang lain selagi dia membungkus belanjaan saya. Katanya takut bosan jika saya menunggu tanpa ada kerjaan. Saya pun menurut dan kembali keliling di rak toko.
Selesai dikemas, pramuniaga mendatangi saya tanpa membawa nota, apalagi struk. Karena memang tidak ada mesin hitung otomatis di sana. Lalu terjadilah percakapan seperti ini.
Pramuniaga : "Sembilan puluh lima ribu, Bu."
Saya : (kaget, harusnya kan hanya Rp 62.000 "Notanya mana, Mas?"
Pramuniaga : (gelagapan) "Oh notanya sudah habis, Bu."
Lalu pramuniaga membongkar laci dan menunjukkan buku nota yang sudah habis terisi. Saya melihat ke dinding, ada tulisan tertempel di dinding "Jika belanja tanpa nota, anda berhak mendapat ganti rugi senilai Rp 500.000" Saya cuma diam saja, tapi pandangan mata saya ke arah tulisan itu. Sepertinya pramuniaga itu tersadar dengan apa yang saya lakukan. Lalu dia tiba-tiba mendapatkan buku nota kosong dan pura-pura terkejut. "Oh, masih ada ternyata," katanya dengan gaya (sok) lugu.
Lalu dengan asal saja si pramuniaga menulis nota. Daster 1 dihargai Rp 45.000, yang kedua Rp 50.000. Dia menulis nota TANPA melihat produknya yang kebetulan sudah saya pegang. Kemudian saya membongkar kembali belanjaan saya untuk mengkonfirmasi harga sebenarnya.
Saya : "Loh, mas, harganya yang bener yang mana, ya?" Tanya saya sambil menunjukkan harga di hang tag. "Ini tulisan 30.000 maksudnya harga, kan? Tadi saya tanya katanya itu harganya di label? Kalau harganya bukan segini, terus maksudnya apa? Coba saya mau lihat daftar harga yang bener di mana? Ada catatan atau katalog ga?"
Pramuniaga : "Iya, bu. Di sini memang harganya beda-beda tergantung produk."
Saya : "Ya tapi ini kan yang saya beli tertera harganya 30.000. Mana daftar harganya? Saya mau lihat!"
Pramuniaga : (tetap dengan gaya (sok) lugunya) "Oh, sebentar bu, saya salah tulis harga."
Akhirnya pramuniaga menulis ulang notanya. Satu baju dengan harga Rp 30.000, dan satu lagi dengan asal-asalan dihargai Rp 40.000. Saya mau protes, tapi hang tag sudah dalam posisi tergunting, jadi harganya sudah tidak tercantum. Ya sudah, daripada puasa saya ga sempurna karena marah tak berkesudahan, saya ngalah.
Sambil dia menulis ulang nota, saya melihat ke arah kertas yang tertempel di dinding bertuliskan : "Untuk saran dan kritik silahkan hubungi , Manajemen E*** Batik" Saya langsung memegang hape dan mencatat nomor yang tertera. Pramuniaga memperhatikan tingkah saya yang seperti akan mengirimkan aduan ke manajemen toko tersebut. Lalu dia tak henti-hentinya memelas meminta maaf, sampai terucap kata tolong. "Tolong dimaafkan ya bu. Saya ga tahu. Saya ga akan ngulangin lagi." Tetap dengan gaya (sok) lugunya.
Saya senyum saja menanggapi permintaan maafnya. Minta maaf, okelah saya maafkan. Tapi bukan berarti saya diamkan saja aksinya itu. Kriminal kecil, kalau dibiarkan lama kelamaan akan menjadi besar. Karena tadi terlalu repot, saya sampai lupa mengirim aduan ke manajemen toko tersebut. Besok pasti saya adukan tingkah pramuniaga tersebut.
Ah, entahlah. Makin hari makin muak dengan tingkah pramuniaga toko yang curang seperti itu. Apa dia tak menyadari, bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan berkah? Semoga pramuniaga tersebut mendapat pencerahan segera. Sebelum dia terlalu nyaman dengan kecurangannya sampai lupa bedanya kebaikan dan kejahatan.
Saturday, July 4, 2015
Injury Time
Sejak memutuskan bergabung dengan grup One Day One Post, tentunya setiap hari saya harus mengusahakan menambah minimal 1 tulisan di blog. Gampang gampang susah sih, menurut saya. Saat inspirasi datang, tentu pagi-pagi saya sudah 'nyetor'. Dan itu sangaaat jarang terjadi. Haha. Setengah bulan ini, mungkin cuma sekali saya datang (ke)pagi(an). Saya biasanya isi absen di jam 18 ke atas, bahkan seringnya mendekati jam 24, dimana hari akan berganti. Kalau kata dosen saya, meminjam istilah dalam sepak bola, saya tergolong manusia-manusia yang senang menunda, dan mengerjakan sesuatu dalam rentang injury time.
Teringat zaman kuliah. Jika diberi tugas untuk minggu depan, biasanya tugas itu baru tersentuh sehari sebelum deadline. Terkadang itu bukan disengaja. Karena kehidupan mahasiswa yang terkadang terlalu padat dengan banyaknya kegiatan seperti praktikum, kami merasa lelah. Karena lelahnya, tentu kami butuh istirahat. Dan sayangnya kami kebablasan dalam istirahat, hingga lupa ada tugas menanti.
Mengerjakan sesuatu dalam rentang injury time, kata orang maka hasilnya tidak akan sempurna. Kata siapa? Kami pernah mendapat pujian di salah satu tugas mata kuliah yang benar-benar baru selesai kami kerjakan di detik-detik terakhir menjelang dikumpulkan.
Saya ingat sekali kejadian itu dengan detail. Ceritanya, di mata kuliah Manajemen Pemasaran, kami diminta untuk membuat sebuah produk, dan membuat iklan semenarik mungkin dari produk kami tersebut. Kelompok kami memutuskan akan membuat iklan dengan format video. Karena bodi kami tidak cukup aduhai untuk dipertontonkan sebagai bintang iklan, maka kami memutuskan hanya menggunakan ilustrasi dalam video tersebut.
Sebenarnya kami sudah memulainya langsung setelah mendapat tugas. Tapi karena tugasnya cukup ribet, ditambah tugas mata kulian lain, tentunya tidak bisa selesai dengan cepat. Setelah bekerja beberapa hari, akhirnya tugas tersebut selesai di H-1. Tentu kami lega dan santai menghadapi hari esok.
Esoknya, beberapa jam sebelum akan dikumpulkan, kami re-check hasil pekerjaan kami. Dan yang terjadi sangat di luar harapan kami. Video kami buyar. Ketika diputar, hanya terlihat kotak-kotak berwarna di layar. Resolusinya di-set terlalu minimal. Hal yang mudah diselesaikan, sebenarnya. Seandainya file asli video itu ada disimpan. Ternyata tidak! Yang ada disimpan hanya yang resolusi kecil. Kami kalang kabut mengulang semua pekerjaan. Membuat ilustrasi kembali, mengeditnya, dan menyelesaikannya dengan menambahkan musik latar belakang.
Tanpa ingat makan (jadwal kuliah jam 13.00), bahkan kami sampai sholat dzuhur di ruang kelas kosong yang kami gunakan sebagai tempat menyelesaikan tugas, saking tak sempatnya beranjak ke musholla. Dan benar-benar di detik terakhir, tugas kami selesai dan kami pun segera berlari ke ruang sebelah tempat kuliah diadakan.
Pak Dosen lalu mereview satu-persatu hasil pekerjaan kami. Memberi komentar yang berkaitan dengan kreativitas, dan tentu saja dikaitkan dengan teori pemasaran. Sampai akhirnya tiba hasil karya kami yang dipertontonkan. Kami sangat bangga dan puas, karena Pak Dosen memuji hasil karya kami sebagai yang terbaik. Dengan ide produk, deskripsi produk, hingga iklan yang enak dilihat dan mudah dimengerti. Ahh... Tak sia-sia bebeberapa hari itu kami begadang, ditampah kehebohan di detik terakhir yang benar-benar membuat emosi susah terkendali. Semua terbayar dengan pujian Pak Dosen.
Jadi, tak selamanya injury time itu buruk. Bisa jadi, di saat terburu-buru itulah kita dihampiri berbagai inspirasi yang bisa membantu kita menyelesaikan segalanya dengan baik. Tapi bukan berarti kita juga boleh menunda-nunda pekerjaan, ya. Yang penting harus menyikapi segalanya dengan bijak. Jika sempar, ya langsung kerjakan. Tidak sempat, jangan langsung menyerah karena bisa saja detik terakhir akan membawa keajaiban.
Teringat zaman kuliah. Jika diberi tugas untuk minggu depan, biasanya tugas itu baru tersentuh sehari sebelum deadline. Terkadang itu bukan disengaja. Karena kehidupan mahasiswa yang terkadang terlalu padat dengan banyaknya kegiatan seperti praktikum, kami merasa lelah. Karena lelahnya, tentu kami butuh istirahat. Dan sayangnya kami kebablasan dalam istirahat, hingga lupa ada tugas menanti.
Mengerjakan sesuatu dalam rentang injury time, kata orang maka hasilnya tidak akan sempurna. Kata siapa? Kami pernah mendapat pujian di salah satu tugas mata kuliah yang benar-benar baru selesai kami kerjakan di detik-detik terakhir menjelang dikumpulkan.
Saya ingat sekali kejadian itu dengan detail. Ceritanya, di mata kuliah Manajemen Pemasaran, kami diminta untuk membuat sebuah produk, dan membuat iklan semenarik mungkin dari produk kami tersebut. Kelompok kami memutuskan akan membuat iklan dengan format video. Karena bodi kami tidak cukup aduhai untuk dipertontonkan sebagai bintang iklan, maka kami memutuskan hanya menggunakan ilustrasi dalam video tersebut.
Sebenarnya kami sudah memulainya langsung setelah mendapat tugas. Tapi karena tugasnya cukup ribet, ditambah tugas mata kulian lain, tentunya tidak bisa selesai dengan cepat. Setelah bekerja beberapa hari, akhirnya tugas tersebut selesai di H-1. Tentu kami lega dan santai menghadapi hari esok.
Esoknya, beberapa jam sebelum akan dikumpulkan, kami re-check hasil pekerjaan kami. Dan yang terjadi sangat di luar harapan kami. Video kami buyar. Ketika diputar, hanya terlihat kotak-kotak berwarna di layar. Resolusinya di-set terlalu minimal. Hal yang mudah diselesaikan, sebenarnya. Seandainya file asli video itu ada disimpan. Ternyata tidak! Yang ada disimpan hanya yang resolusi kecil. Kami kalang kabut mengulang semua pekerjaan. Membuat ilustrasi kembali, mengeditnya, dan menyelesaikannya dengan menambahkan musik latar belakang.
Tanpa ingat makan (jadwal kuliah jam 13.00), bahkan kami sampai sholat dzuhur di ruang kelas kosong yang kami gunakan sebagai tempat menyelesaikan tugas, saking tak sempatnya beranjak ke musholla. Dan benar-benar di detik terakhir, tugas kami selesai dan kami pun segera berlari ke ruang sebelah tempat kuliah diadakan.
Pak Dosen lalu mereview satu-persatu hasil pekerjaan kami. Memberi komentar yang berkaitan dengan kreativitas, dan tentu saja dikaitkan dengan teori pemasaran. Sampai akhirnya tiba hasil karya kami yang dipertontonkan. Kami sangat bangga dan puas, karena Pak Dosen memuji hasil karya kami sebagai yang terbaik. Dengan ide produk, deskripsi produk, hingga iklan yang enak dilihat dan mudah dimengerti. Ahh... Tak sia-sia bebeberapa hari itu kami begadang, ditampah kehebohan di detik terakhir yang benar-benar membuat emosi susah terkendali. Semua terbayar dengan pujian Pak Dosen.
Jadi, tak selamanya injury time itu buruk. Bisa jadi, di saat terburu-buru itulah kita dihampiri berbagai inspirasi yang bisa membantu kita menyelesaikan segalanya dengan baik. Tapi bukan berarti kita juga boleh menunda-nunda pekerjaan, ya. Yang penting harus menyikapi segalanya dengan bijak. Jika sempar, ya langsung kerjakan. Tidak sempat, jangan langsung menyerah karena bisa saja detik terakhir akan membawa keajaiban.
Friday, July 3, 2015
Oh, Ternyata Ini yang Namanya "Es Oyen"
Es Oyen, katanya sih khas Bandung. Tapi banyak dijual di Semarang. Saya sendiri tidak tahu bagaimana sejarahnya sampai dinamakan Es Oyen. Saya kira warnanya oranye. Lalu biar imut gitu jadi disebut "oyen" haha. Dan, jujur, baru kali ini saya melihat dan mencicipi Es Oyen. Ternyata tidak ada bagian yang berwarna oranye-nya sedikitpun.
Ini penampakan Es Oyen itu

Warnanya mirip es teler. Dan setelah diseruput, rasanya mirip sekali dengan es teler merk terkenal yang waralabanya tersebar di nusantara dan beberapa negara tetangga.

Isi es oyen yang saya beli ini juga mirip es teler merk terkenal itu. Ada daging kelapa muda, alpukat, nangka. Bedanya, dalam es oyen ada pacar cina dan jelly yang dipotong dadu.
Rasa penasaran saya akan es oyen sudah terjawab. Lumayan lah. Nilainya 9/10. Karena jika dibandingkan es teler dadi restoran terkenal itu, rasanya mirip. Malah es oyen lebih unggul di soal harga harga, jauh lebih murah dari es teler. Dih emak-emak kalau ngomong ga jauh soal harga, ya? Hehe.
Ini penampakan Es Oyen itu

Warnanya mirip es teler. Dan setelah diseruput, rasanya mirip sekali dengan es teler merk terkenal yang waralabanya tersebar di nusantara dan beberapa negara tetangga.

Isi es oyen yang saya beli ini juga mirip es teler merk terkenal itu. Ada daging kelapa muda, alpukat, nangka. Bedanya, dalam es oyen ada pacar cina dan jelly yang dipotong dadu.
Rasa penasaran saya akan es oyen sudah terjawab. Lumayan lah. Nilainya 9/10. Karena jika dibandingkan es teler dadi restoran terkenal itu, rasanya mirip. Malah es oyen lebih unggul di soal harga harga, jauh lebih murah dari es teler. Dih emak-emak kalau ngomong ga jauh soal harga, ya? Hehe.
Thursday, July 2, 2015
Bacalah, bacalah, bacalah (daftar menunya) !
Malam ini nurutin kemauan suami tersayang yang lagi pengen makan makanan yang berkuah. Sementara istrinya ini (hanya) masak lele goreng dan pecel sayur di rumah. Jadilah kami meluncur ke salah satu rumah makan spesial iga yang lumayan terkenal di kota ini.
Setelah melihat menu, kami langsung memesan makanan yang kami inginkan. Untuk minumannya, tanpa membaca, kami langsung memesan minuman sederhana favorit kami : jeruk. Saya pesan es jeruk, sementara suami yang sedang pilek memesan jeruk hangat.
Tak menunggu lama, minuman yang kami pesan pun datang. Jeruk hangat di gelas kecil, dan es jeruk di gelas yang lebih besar, standar gelas yang biasa digunakan untuk minuman jus. Tak lama kemudian, makanannya pun menyusul dan kami lahap menyantap makanan yang rasanya menurut saya dapat nilai 9 dari 10 itu.
Dan tibalah saat membayar. Sebelumnya saya sudah menghitung secara kasar, kemungkinan yang harus dibayar sekitar Rp 80.000. Tapi ternyata meleset. Total yang harus kami bayar adalah Rp 110.000. Selisih Rp 30.000 dari bayangan saya. Yah, selisih yang lumayan gede buat seorang ibu rumah tangga seperti saya.
Saya yang tak percaya langsung melihat struk nya. Harga makanan saya sudah tahu sebelumnya. Menurut saya harga makananya standar. Saya perhatikan apa yang membuatnya lebih mahal dari bayangan saya. Ternyata harga minumannya jauh di atas rata-rata

Untuk kelas rumah makan seperti ini, saya kira saya sudah terbiasa dengan 'standar harga'. Minuman sekelas es teh dan es jeruk biasanya dihargai paling tinggi seharga Rp 6.000. Itulah mengapa, saat memesan kami tak melihat daftar harga minuman sehingga kami tak menyangka kalau harganya sangat 'anti mainstream'. Apalagi kalau dibandingkan jeruk hangat tadi porsinya separuh dari es jeruk saya. Okelah kalau es jeruk saya memang mereka hargai segitu. Tapi kenapa jeruk hangatnya tidak dihargai separuh dari itu? Toh jumlah isinya juga hanya separuh dari es jeruk?
Ah, ya sudahlah. Daripada ngedumel, jadinya makanan yang masuk ke perut malah ga berkah dan mengundang penyakit. Dijadikan pelajaran saja. Bahwa lain kali, daftar menu itu harus dibaca dengan detail. Jangan terpatok dengan 'standar harga', karena ternyata rumah makan yang kelasnya sama pun bisa membrandol harga lebih tinggi.
Setelah melihat menu, kami langsung memesan makanan yang kami inginkan. Untuk minumannya, tanpa membaca, kami langsung memesan minuman sederhana favorit kami : jeruk. Saya pesan es jeruk, sementara suami yang sedang pilek memesan jeruk hangat.
Tak menunggu lama, minuman yang kami pesan pun datang. Jeruk hangat di gelas kecil, dan es jeruk di gelas yang lebih besar, standar gelas yang biasa digunakan untuk minuman jus. Tak lama kemudian, makanannya pun menyusul dan kami lahap menyantap makanan yang rasanya menurut saya dapat nilai 9 dari 10 itu.
Dan tibalah saat membayar. Sebelumnya saya sudah menghitung secara kasar, kemungkinan yang harus dibayar sekitar Rp 80.000. Tapi ternyata meleset. Total yang harus kami bayar adalah Rp 110.000. Selisih Rp 30.000 dari bayangan saya. Yah, selisih yang lumayan gede buat seorang ibu rumah tangga seperti saya.
Saya yang tak percaya langsung melihat struk nya. Harga makanan saya sudah tahu sebelumnya. Menurut saya harga makananya standar. Saya perhatikan apa yang membuatnya lebih mahal dari bayangan saya. Ternyata harga minumannya jauh di atas rata-rata

Untuk kelas rumah makan seperti ini, saya kira saya sudah terbiasa dengan 'standar harga'. Minuman sekelas es teh dan es jeruk biasanya dihargai paling tinggi seharga Rp 6.000. Itulah mengapa, saat memesan kami tak melihat daftar harga minuman sehingga kami tak menyangka kalau harganya sangat 'anti mainstream'. Apalagi kalau dibandingkan jeruk hangat tadi porsinya separuh dari es jeruk saya. Okelah kalau es jeruk saya memang mereka hargai segitu. Tapi kenapa jeruk hangatnya tidak dihargai separuh dari itu? Toh jumlah isinya juga hanya separuh dari es jeruk?
Ah, ya sudahlah. Daripada ngedumel, jadinya makanan yang masuk ke perut malah ga berkah dan mengundang penyakit. Dijadikan pelajaran saja. Bahwa lain kali, daftar menu itu harus dibaca dengan detail. Jangan terpatok dengan 'standar harga', karena ternyata rumah makan yang kelasnya sama pun bisa membrandol harga lebih tinggi.
Wednesday, July 1, 2015
Rumah Itu Bernama Cinta
Ingin pulang. Rasa itu yang terbersit setiap hati dilanda gulana. Pulang ke rumah yang pernah saya tempati selama 24 tahun. Tempat berdiamnya sepasang manusia hebat yang selalu menawarkan cinta tanpa syarat.
Ingin pulang. Kembali ke tempat di mana tak seorangpun bisa mengacuhkanku. Lalu meringkuk hangat di pelukan wanita paruh baya yang menjadi cinta pertamaku. Meluapkan segala tangis di sana. Tangis karena rindu yang terlalu menggebu.
Ingin pulang. Rasa itu semakin membuncah. Tapi tak lama aku terkesiap. Pulang kemana? Bukankah aku sudah berada di rumah?
Ingin pulang. Kembali ke tempat di mana tak seorangpun bisa mengacuhkanku. Lalu meringkuk hangat di pelukan wanita paruh baya yang menjadi cinta pertamaku. Meluapkan segala tangis di sana. Tangis karena rindu yang terlalu menggebu.
Ingin pulang. Rasa itu semakin membuncah. Tapi tak lama aku terkesiap. Pulang kemana? Bukankah aku sudah berada di rumah?
Subscribe to:
Posts (Atom)