Jadwal pulang kampung sudah semakin dekat. Tentunya yang terpikir pertama kali saat pulang kampung adalah oleh-oleh. Karena kondisi di perjalanan nanti yang kurang memungkinkan untuk membawa makanan, jadilah suami mengusulkan untuk membawa oleh-oleh batik.
Karena kami kurang mengerti seluk beluk Semarang, jadi bingung mau beli batik di mana. Dulu mungkin langsung terpikir ke Pasar Johar. Tapi semenjak Pasar Johar terbakar, kami tidak punya referensi lain. Akhirnya kami putuskan berselancar di om google, dan ketemu satu toko batik yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah, hanya memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan.
Sampai di sana, saya kurang sreg dengan produk-produknya. Suami, melalui BBM, menyarankan untuk langsung pulang saja. Tapi karena saya hanya sendirian dan segan dengan pramuniaga yang melayani dengan (kelewat) ramah, akhirnya saya membeli dua potong daster sebagai 'syarat'. Yah ga enak rasanya pergi dengan tangan kosong setelah mengobrak abrik toko itu.
Saya pilih daster dengan harga yang paling rendah. Satu berharga Rp 30.000, dan satu lagi Rp 32.000. [Tapi entah kenapa yang Rp 32.000 sudah hilang harganya saat selesai membayar, hang tag nya seperti digunting].

Saat akan membayar, pramuniaga tadi menyuruh saya melihat-lihat dulu yang lain selagi dia membungkus belanjaan saya. Katanya takut bosan jika saya menunggu tanpa ada kerjaan. Saya pun menurut dan kembali keliling di rak toko.
Selesai dikemas, pramuniaga mendatangi saya tanpa membawa nota, apalagi struk. Karena memang tidak ada mesin hitung otomatis di sana. Lalu terjadilah percakapan seperti ini.
Pramuniaga : "Sembilan puluh lima ribu, Bu."
Saya : (kaget, harusnya kan hanya Rp 62.000 "Notanya mana, Mas?"
Pramuniaga : (gelagapan) "Oh notanya sudah habis, Bu."
Lalu pramuniaga membongkar laci dan menunjukkan buku nota yang sudah habis terisi. Saya melihat ke dinding, ada tulisan tertempel di dinding "Jika belanja tanpa nota, anda berhak mendapat ganti rugi senilai Rp 500.000" Saya cuma diam saja, tapi pandangan mata saya ke arah tulisan itu. Sepertinya pramuniaga itu tersadar dengan apa yang saya lakukan. Lalu dia tiba-tiba mendapatkan buku nota kosong dan pura-pura terkejut. "Oh, masih ada ternyata," katanya dengan gaya (sok) lugu.
Lalu dengan asal saja si pramuniaga menulis nota. Daster 1 dihargai Rp 45.000, yang kedua Rp 50.000. Dia menulis nota TANPA melihat produknya yang kebetulan sudah saya pegang. Kemudian saya membongkar kembali belanjaan saya untuk mengkonfirmasi harga sebenarnya.
Saya : "Loh, mas, harganya yang bener yang mana, ya?" Tanya saya sambil menunjukkan harga di hang tag. "Ini tulisan 30.000 maksudnya harga, kan? Tadi saya tanya katanya itu harganya di label? Kalau harganya bukan segini, terus maksudnya apa? Coba saya mau lihat daftar harga yang bener di mana? Ada catatan atau katalog ga?"
Pramuniaga : "Iya, bu. Di sini memang harganya beda-beda tergantung produk."
Saya : "Ya tapi ini kan yang saya beli tertera harganya 30.000. Mana daftar harganya? Saya mau lihat!"
Pramuniaga : (tetap dengan gaya (sok) lugunya) "Oh, sebentar bu, saya salah tulis harga."
Akhirnya pramuniaga menulis ulang notanya. Satu baju dengan harga Rp 30.000, dan satu lagi dengan asal-asalan dihargai Rp 40.000. Saya mau protes, tapi hang tag sudah dalam posisi tergunting, jadi harganya sudah tidak tercantum. Ya sudah, daripada puasa saya ga sempurna karena marah tak berkesudahan, saya ngalah.
Sambil dia menulis ulang nota, saya melihat ke arah kertas yang tertempel di dinding bertuliskan : "Untuk saran dan kritik silahkan hubungi , Manajemen E*** Batik" Saya langsung memegang hape dan mencatat nomor yang tertera. Pramuniaga memperhatikan tingkah saya yang seperti akan mengirimkan aduan ke manajemen toko tersebut. Lalu dia tak henti-hentinya memelas meminta maaf, sampai terucap kata tolong. "Tolong dimaafkan ya bu. Saya ga tahu. Saya ga akan ngulangin lagi." Tetap dengan gaya (sok) lugunya.
Saya senyum saja menanggapi permintaan maafnya. Minta maaf, okelah saya maafkan. Tapi bukan berarti saya diamkan saja aksinya itu. Kriminal kecil, kalau dibiarkan lama kelamaan akan menjadi besar. Karena tadi terlalu repot, saya sampai lupa mengirim aduan ke manajemen toko tersebut. Besok pasti saya adukan tingkah pramuniaga tersebut.
Ah, entahlah. Makin hari makin muak dengan tingkah pramuniaga toko yang curang seperti itu. Apa dia tak menyadari, bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan berkah? Semoga pramuniaga tersebut mendapat pencerahan segera. Sebelum dia terlalu nyaman dengan kecurangannya sampai lupa bedanya kebaikan dan kejahatan.
Karena kami kurang mengerti seluk beluk Semarang, jadi bingung mau beli batik di mana. Dulu mungkin langsung terpikir ke Pasar Johar. Tapi semenjak Pasar Johar terbakar, kami tidak punya referensi lain. Akhirnya kami putuskan berselancar di om google, dan ketemu satu toko batik yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah, hanya memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan.
Sampai di sana, saya kurang sreg dengan produk-produknya. Suami, melalui BBM, menyarankan untuk langsung pulang saja. Tapi karena saya hanya sendirian dan segan dengan pramuniaga yang melayani dengan (kelewat) ramah, akhirnya saya membeli dua potong daster sebagai 'syarat'. Yah ga enak rasanya pergi dengan tangan kosong setelah mengobrak abrik toko itu.
Saya pilih daster dengan harga yang paling rendah. Satu berharga Rp 30.000, dan satu lagi Rp 32.000. [Tapi entah kenapa yang Rp 32.000 sudah hilang harganya saat selesai membayar, hang tag nya seperti digunting].

Saat akan membayar, pramuniaga tadi menyuruh saya melihat-lihat dulu yang lain selagi dia membungkus belanjaan saya. Katanya takut bosan jika saya menunggu tanpa ada kerjaan. Saya pun menurut dan kembali keliling di rak toko.
Selesai dikemas, pramuniaga mendatangi saya tanpa membawa nota, apalagi struk. Karena memang tidak ada mesin hitung otomatis di sana. Lalu terjadilah percakapan seperti ini.
Pramuniaga : "Sembilan puluh lima ribu, Bu."
Saya : (kaget, harusnya kan hanya Rp 62.000 "Notanya mana, Mas?"
Pramuniaga : (gelagapan) "Oh notanya sudah habis, Bu."
Lalu pramuniaga membongkar laci dan menunjukkan buku nota yang sudah habis terisi. Saya melihat ke dinding, ada tulisan tertempel di dinding "Jika belanja tanpa nota, anda berhak mendapat ganti rugi senilai Rp 500.000" Saya cuma diam saja, tapi pandangan mata saya ke arah tulisan itu. Sepertinya pramuniaga itu tersadar dengan apa yang saya lakukan. Lalu dia tiba-tiba mendapatkan buku nota kosong dan pura-pura terkejut. "Oh, masih ada ternyata," katanya dengan gaya (sok) lugu.
Lalu dengan asal saja si pramuniaga menulis nota. Daster 1 dihargai Rp 45.000, yang kedua Rp 50.000. Dia menulis nota TANPA melihat produknya yang kebetulan sudah saya pegang. Kemudian saya membongkar kembali belanjaan saya untuk mengkonfirmasi harga sebenarnya.
Saya : "Loh, mas, harganya yang bener yang mana, ya?" Tanya saya sambil menunjukkan harga di hang tag. "Ini tulisan 30.000 maksudnya harga, kan? Tadi saya tanya katanya itu harganya di label? Kalau harganya bukan segini, terus maksudnya apa? Coba saya mau lihat daftar harga yang bener di mana? Ada catatan atau katalog ga?"
Pramuniaga : "Iya, bu. Di sini memang harganya beda-beda tergantung produk."
Saya : "Ya tapi ini kan yang saya beli tertera harganya 30.000. Mana daftar harganya? Saya mau lihat!"
Pramuniaga : (tetap dengan gaya (sok) lugunya) "Oh, sebentar bu, saya salah tulis harga."
Akhirnya pramuniaga menulis ulang notanya. Satu baju dengan harga Rp 30.000, dan satu lagi dengan asal-asalan dihargai Rp 40.000. Saya mau protes, tapi hang tag sudah dalam posisi tergunting, jadi harganya sudah tidak tercantum. Ya sudah, daripada puasa saya ga sempurna karena marah tak berkesudahan, saya ngalah.
Sambil dia menulis ulang nota, saya melihat ke arah kertas yang tertempel di dinding bertuliskan : "Untuk saran dan kritik silahkan hubungi , Manajemen E*** Batik" Saya langsung memegang hape dan mencatat nomor yang tertera. Pramuniaga memperhatikan tingkah saya yang seperti akan mengirimkan aduan ke manajemen toko tersebut. Lalu dia tak henti-hentinya memelas meminta maaf, sampai terucap kata tolong. "Tolong dimaafkan ya bu. Saya ga tahu. Saya ga akan ngulangin lagi." Tetap dengan gaya (sok) lugunya.
Saya senyum saja menanggapi permintaan maafnya. Minta maaf, okelah saya maafkan. Tapi bukan berarti saya diamkan saja aksinya itu. Kriminal kecil, kalau dibiarkan lama kelamaan akan menjadi besar. Karena tadi terlalu repot, saya sampai lupa mengirim aduan ke manajemen toko tersebut. Besok pasti saya adukan tingkah pramuniaga tersebut.
Ah, entahlah. Makin hari makin muak dengan tingkah pramuniaga toko yang curang seperti itu. Apa dia tak menyadari, bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan berkah? Semoga pramuniaga tersebut mendapat pencerahan segera. Sebelum dia terlalu nyaman dengan kecurangannya sampai lupa bedanya kebaikan dan kejahatan.
Halo Ibu dan Bapak
ReplyDeleteApakah Anda mencari pinjaman? , baik untuk bisnis atau untuk pelaksanaan peluncuran proyek, baik untuk membeli Anda apartemen atau membayar utang. Saya seorang pemberi pinjaman pribadi yang menawarkan jasa saya pinjaman antara individu swasta di bidang-bidang berikut:
- PINJAMAN PRIBADI
- REAL ESTATE LOAN
- PINJAMAN HIPOTEK
- AUTO LOAN
- PINJAMAN REDEMPTION OF DEBT
- PINJAMAN MODAL KENAIKAN
- PINJAMAN LAIN
Tingkat bunga kami adalah 2%, Anda dapat menghubungi kami melalui email: mariamsuleimanloanfirm@gmail.com untuk pinjaman Anda hari ini.
Ibu Mariam.