Nindya, Tentang Sebuah Nama

Nindya, satu kata yang berasal dari bahasa sansekerta. Sebuah hal yang kurang awam jika nama itu disandang oleh seorang suku mandailing seperti saya, karena nama tersebut memang identik dengan suku jawa. Tak heran, di kampus saya beberapa kali mendengar komentar keheranan dari para pengajar. "Orang batak kok pakai nama jawa?" Begitu selalu kalimat retorik yang tertuju pada saya.

Jika ditarik kebelakang, pastilah setiap orang tua memiliki kisah tersendiri dalam memberi nama pada anaknya. Nama saya sendiri, kata ibu saya, terinspirasi dari nama permaisuri HB IX, sultan yang kala itu memimpin Yogyakarta.

Ketika itu tahun 1988. Sosok Nindyo Kirono, begitu nama beliau, sangat sering ditampilkan di berbagai media. Ibu saya kagum dengan beliau. Wajahnya yang ayu, tutur kata lembut, sifat yang anggun, khas bangsawan keraton. Sehingga ibu saya memimpikan memiliki anak yang ayu seperti beliau. Hingga akhirnya saya lahir, nama itu langsung melekat.

Seiring waktu, doa ibu dalam nama saya seperti menjadi nyata. Saat berusia sekitar 2 tahun, saya mulai menampakkan kesukaan saya ke budaya jawa. Jika mendengar lagu berirama musik jawa, maka badan mungil saya seperti terbawa, dan mulai menari mengikuti irama. Beda halnya jika saya mendengar lagu pop, dangdut, atau rock sekalipun, saya diam saja tak tertarik untuk menari.

Sifat saya pun jauh dari sifat suku batak yang terkenal keras. Saya lebih kalem, dan sangat halus jika berbicara. Membuat ibu saya selalu meledek, "Kalau kau ngomong, persis putri keraton."

Dan sampai akhirnya, ketika dewasa, saya mendapatkan suami yang berasal dari Jogja. Medan-Jogja, bukankah itu sangat jauh? Tak hanya sampai di situ, entah bagaimana takdir bekerja, hingga akhirnya saya sekarang berdomisili di tanah jawa.

Jika melihat yang terjadi sekarang, ibu saya tak henti-hentinya berkelakar soal nama saya. Si putri batak yang diberi nama jawa, akhirnya ditempatkan di tempat seharusnya, di mana namanya berasal.