Well, ini apa bisa dibilang hadiah wisuda ya? Dari sebelum saya wisuda mama sudah mendengung-dengungkan mau mengajak liburan ke Singapura. Dengan syarat: SETELAH SAYA WISUDA. Sudah dari tahun lalu sih janjinya, tapi sayangnya saya tak kunjung wisuda *sigh*.
Ke Singapura butuh perencanaan yang matang. Tidak semudah pergi ke Malaysia. Alasan utamanya apalagi kalau bukan: UANG. Yah, ke Malaysia bisa dibilang mikirnya gak perlu panjang. Cek jadwal libur, cek tiket murah, book, berangkat. Ke Singapura? Hmm... Nggak cukup hanya memikirkan tiket murah. Yang perlu dipikirkan penginapan murah, makanan murah, dan segala-gala yang murah lainnya. Dan masalahnya, itu hal yang susah didapatkan.
Kesempatan ke Singapura sangat langka. Seperti yang saya sebut sebelumnya, masalahnya ya di uang. Ooowooo... Lagi-lagi uang. *Nicky Astria mode on*. Anggota keluarga kami ada 6 (sekarang tinggal 5 setelah kakak saya menikah). Jadi kalau pergi liburan ke tempat mahal musti berpikir panjaaaaang, secara semua biaya harus dikali 5. Saya sendiri ke Malaysia sudah berkali-kali. Tapi untuk ke Singapura, seumur hidup baru 3 kali :p . Pertama saat masih berumur sekitar 2 tahun, yang kedua saat duduk di kelas 1 SMA, yang ketiga ya yang baru saja ini. Jadi maklum lah kalau agak-agak maruk, jarang-jarang nih! :)
Perjalanan kami dimulai tanggal 13 Mei 2012. Dengan menumpang Tiger Airways (Mandala) yang harga tiketnya lebih kurang Rp 800.000 untuk pulang pergi (sangat murah), kami tiba di Budget Terminal Changi Airport. Budget Terminal ini terminalnya penerbangan-penerbangan murah. Mirip seperti LCCT (Low Cost Carrier Terminal) nya KLIA (Kuala Lumpur International Airport).
Sebusuk-busuknya Budget Terminal tetap terlihat lumayan juga. Di bagian kedatangan tidak terlihat mewahnya. Tapi di bagian keberangkatan, terlihat lumayan. Ada toko-toko duty free, internet zone, cafe-cafe yang lumayan cozy. Bandara Polonia sampe kalah. *iyalah*
Kisah perjalanan singkat ini sepertinya akan saya bagi beberapa bagian. Kalau terlalu panjang biasanya orang capek bacanya. Saya juga capek nulisnya sih. Heheee..
13 Maret 2012
Petualangan di Singapura diawali dengan perasaan agak jengkel karena ulah seorang supir taxi. Saat di pool taxi kami diperintahkan oleh seseorang (sepertinya koordinator angkutan taxi) untuk naik taxi di line 6. Tetapi supir di line 7 kemudian marah pada si koordinator. "Hey! I came first!" dan dia melanjutkan dengan kata-kata kotor. Bahasanya bercampur, dari Inggris (atau lebih tepatnya Sing-lish?), melayu, mandarin. Dan marahnya makin lama makin menjadi. Dia memaksa kami untuk tetap naik di taxinya. Si supir line 6 sebenarnya mau mengalah dan menyerahkan kami padanya. Tapi mama saya menolak. Takut juga kalau disupirin oleh seorang yang sedang marah besar seperti itu. Bisa-bisa nanti di jalan terjadi sesuatu yang lebih tidak menyenangkan. Akhirnya kami tetap memilih taxi di line 6.
Taxi pun meluncur. Dan saya pun memandang takjub kemegahan Singapura. Terlihat norak memang. Untung kami menggunakan taxi, dan hanya berempat. Jadi kebinar-binaran mata saya yang norak tidak terlihat oleh orang lain.
Tujuan pertama adalah Fragrance Riverside Hotel yang terletak di Hongkong Street, dekat New Bridge Road. Salah satu budget hotel berbintang tiga. Namanya Singapura, budget hotel ya teteup...mahal juga. Per malam kira-kira Rp 700.000. Padahal kamarnya kecil. Saya ingat pernah menginap di Jatra (Pekanbaru), bintang lima, tarif per malam Rp 600.000 tapi sudah termasuk breakfast 3 orang senilai masing-masing Rp 90.000. Kamarnya luas, restorannya mewah. Tapi ini? Nggak dapat sarapan. Dan restorannya pun lebih mirip cafe kecil daripada restoran. Ukuran kamar lebih kurang 3x4m (termasuk kamar mandi). Bahkan saking sempitnya, TV yang ada di kamar pun merupakan plasma TV yang ditempelkan di dinding, di depan salah satu ranjang. Tidak di tengah-tengah. Jadi ya orang yang di satu ranjang bisa menikmati TV dengan nyaman, yang di ranjang satu lagi harus rela lehernya pegel demi memandang TV.
Di hotel ini ada kolam renang kecil dan gym room yang sangat minimalis. Minimalis dalam arti yang sebenarnya. Hanya ada dua alat gym di ruangan yang berukuran lebih kurang 3x3 itu. Sebuah treadmill dan sebuah elliptical trainer. Tarif kamar juga berbeda untuk kamar berjendela dan tidak berjendela. Kamar berjendela dikenai tarif tambahan. Kebetulan kedua kamar kami berjendela. Tapi tidak berarti banyak. Singapura bukan Sabang, di mana kita bisa melihat indahnya laut lepas dari kamar (jika menginap di hotel tepi pantai). Saat kita hanya bisa melihat gedung-gedung pencakar langit dari jendela, sepertinya tidak ada gunanya membayar lebih untuk sebuah jendela. Asal tahu saja, tarif tambahan untuk jendela hampir sama dengan harga jika kita memasang jendela di rumah di Medan. Istilahnya, di Medan kita sudah bisa membuat jendela baru dengan uang segitu, tetapi di Singapura dengan uang sejumlah yang sama kita hanya bisa 'menyewa' sebuah jendela.
Kembali ke topik awal.
Karena belum masuk jadwal check-in, jadi kami hanya menitipkan koper di lobby hotel dan melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Inong, sepupu mama saya. Bu Inong menikah dengan seorang lelaki berkewarganegaraan Singapura. Dan sekarang pun Bu Inong sudah punya izin tinggal sebagai penduduk tetap Singapura. Bu Inong tinggal di sana bersama suami dan tiga anaknya. Si kembar Amanda-Adrian (Li Wen-Han Wen) dan si bungsu Aston (Kai Wen). Saya suka tertukar nama mereka dalam bahasa Mandarin. Memang lebih mudah menghapal nama Inggris mereka :)
Sebelumnya kami makan di Burger King di Central. Mall terdekat dari hotel yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan waktu tak sampai 10 menit. Untuk hari kedepannya Burger King ini seperti 'markas' kami. Apa sebabnya, nanti saya ceritakan di bagian berikutnya. Di Medan tidak ada Burger King, dan saya jarang ke ibukota dan tidak pernah memakan Burger King seumur-umur *katrok*. Jadi saya tidak bisa membandingkan harganya. Satu porsi menu sarapan berkisar antara S$ 3 - S$ 8. Harga yang standar jika dibandingkan dengan fastfood sekelas McD (saya tahunya hanya McD, KFC dsb).
Selesai makan kami langsung ke lantai bawah untuk menuju stasiun MRT, kereta listrik bawah tanah. Yang menjadi andalan transportasi (lumayan) murah dan sangat mudah diakses di Singapura. Dari Clarke Quay (stasiun yang terdekat dari hotel) ke Yew Tee (stasiun terdekat ke kediaman Bu Inong) harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Memerlukan ongkos S$ 2,2 dengan total 17 stasiun yang harus dilewati. Dan butuh waktu sekitar 3 menit di setiap stasiun (termasuk untuk berhenti menaik-turunkan penumpang).
Menurut pengamatan saya, MRT selalu penuh saat di stasiun Dhoby Ghaut dan Orchard. Tetapi berubah menjadi sengat sepi di stasiun-stasiun ujung, seperti di Yew Tee ini. Setelah menginjakkan kaki di Yew Tee kami segera melakukan kontak dengan Bu Inong, dan Bu Inong pun menjemput kami ke stasiun dengan berjalan kaki. Kami menempuh perjalanan yang tak begitu jauh untuk sampai di apartemen Bu Inong. Tidak ada yang perlu dirisaukan bagi pedestrian di Singapura. Fasilitas pedestrian sangat diperhatikan di sini. Pohon-pohon rindang di tepi jalan menghalangi teriknya sinar matahari. Trotoar benar-benar digunakan untuk pejalan kaki. Tidak ada pedagang kaki lama yang membuat berantakan.
Di rumah Bu Inong kami sempat mencoba koneksi internetnya. Dan kami terkagum-kagum dibuatnya. Si kembar dan si bungsu menonton kartun melalui YouTube dan tidak ada buffering sedikitpun. Kami pun mencoba menyambungkan ponsel pintar kami dengan koneksi internet wifi. Dan tidak ada masalah. Meskipun kami saling 'berebut' bandwidth, tidak ada yang terganggu. Anak-anak masih menikmati tontonan di YouTube, dan kami masih bisa berinternet di hanheld dengan sangat lancar. Sementara koneksi internet sehebat itu sangat langka di negeri tercinta ini :(
Setelah puas bercengkrama kami pun pulang ke hotel dan beristirahat sebentar. Saat makan malam kami beranjak ke kawasan Orchard. Tujuan kami adalah Lucky Plaza. Di lantai bawah ada food court Asian Food Mall, dan ada beberapa gerai makanan Indonesia di sana. Yaitu Indo-Express, gerai nasi padang, dan Steak Hotel Holycow. Saya memilih nasi uduk spesial dari Indo-Express. Saya sudah bersiap akan kecewa dan mendapatkan rasa yang aneh. Tetapi tidak. Rasanya otentik sekali. Benar-benar rasa masakan Indonesia. Gurihnya nasi uduk, ayam goreng, tahu tempe, sambal terasi. Tidak terasa bedanya. Sangat Indonesia. Hanya saja berbeda dengan lalapannya. Mentimun di sana rasanya kurang enak. Mungkin karena impor, jadi rasa mentimunnya tidak sesegar di Indonesia. Harga makanan berkisar antara S$ 5 - S$ 7.
(Berikutnya: Universal Studios Singapore! Yeay..!! Lihat Bagian 2)
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar... :)