Instan, artinya secara garis beras yaitu langsung jadi. Banyak manusia mencintai ke-instan-an, termasuk saya (dulu). Hayooo.. Ngaku aja, kalian pasti pernah jadi pecinta budaya instan. Atau, sampai sekarang masih cinta dengan yang istan-instan? Saya sih udah berubah, cintanya cuma sama yang namanya mie instan :p
Gak secara blak-blakan mungkin, ungkapan cinta kalian (atau kita) kepada budaya instan itu. Kalian (atau kita) gak pernah bilang, "Aku gak mau nunggu lama!", "Aku mau langsung selesai!", kalau ada yang bilang gitu, mah, siap-siap dikeselin orang sedunia yaaa... Gak sabaran amat jadi manusia. Tapi, sebaliknya, menggunakan kata-kata yang lebih baik, dengan tujuan tidak dianggap negatif oleh orang. Padahal, artinya ya sama aja, menginginkan semuanya secara instan.
Ini pandangan saya tentang instan. Tidak ada yang instan di dunia ini. Mie instan aja, yang udah jelas ada tulisan instannya, harus dimasak dulu kira-kira 3 menit. Itu cuma ngerebusnya, loh. Belum lagi menampung air rebusan, membuka bungkusan mie, menyiapkan bumbu, menyajikannya sampai siap untuk dimakan, mungkin 5 menit juga habis terbuang. Di mana letak instan nya...? Seharusnya kalau instan itu, bungkusnya berisi mie jadi yang sudah siap makan, dalam kondisi hangat. Ada? Ya jelas gak ada.
Saya cerita dari yang saya lihat di sekeliling aja, ya. Saat ini, saya (masih) sibuk dengan urusan skripsi, dan sebagian besar teman sudah sibuk mencari kerja. Dulu, saya sering berpikir, "Bisa ga ya tamat aja? Gak usah pake skripsi?!", atau yang ini, "Bisa ga sih skripsiku di ACC aja gak usah diliat2 lagi??!". Mau saya muat itu di suara konsumen di surat kabar, mau saya ajukan ke mahkamah agung pun, tetap pasti jawabannya TIDAK BISA. Sadar ga bisa, ya diam aja. Daripada capek terus bertanya dan meminta.
Sama, dengan para pencari kerja. Dipanggil tes di sebuah perusahaan, lulus tahap 1 masuk tahap 2, tahap 3, dst. Tanpa sadar (atau mungkin sadar), banyak yang mengeluh: "Haiiish banyak kali tesnya!", "Bah, tak siap-siap tes ini!". Mereka tidak ada meminta langsung diterima kerja, tetapi dari kata-kata yang keluar, terlihat kan, kalau dia itu tidak mau menjalani proses yang panjang. Ya, si pecinta budaya instan.
Sama seperti di bisnis saya. Banyak yang mencoba, banyak yang gagal. Ups, ralat, bukan gagal, tapi berhenti mencoba. Mengapa berhenti mencoba? Mereka sudah menjadi anggota, menganggap segala sesuatu akan berjalan lancar dengan sendirinya. Mereka tidak tahu, bisnis ini bukan bisnis sembarangan di mana uang bisa diputar tanpa ada yang memutarnya. Harus kita, sebagai anggota,yang memutar uang tsb. Bagaimana cara memutarnya? Dengan usaha dan kerja keras.
Banyak yang menyerah, dan mengeluh, karena belum dapat hasilnya. Saat kita tanya mereka sudah melakukan apa saja? Jawabannya: duduk di depan komputer. Padahal, semua yang sudah sukses di sini melakukan apa yang sanggup mereka lakukan. Naik turun angkot untuk mencari member baru, Berat-beratan menenteng bahan untuk presentasi ke prospek. Dia yang menyerah? Hanya duduk di depan komputer di rumah. Pantaskah untuk mendapatkan hasil lebih kalau yang dilakukannya justru sedikit? Itulah budaya instan, ingin mendapatkan hasil yang baik tapi tidak mau usaha.
Bagaimana cara menghilangkan budaya instan ini? Terserah masing-masing individu bagaimana caranya. Mungkin harus kena sentil dulu, kayak saya ini. Tersentil dengan pepatah lama, "Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai.". Kalau usaha cuma sedikit, jangan marah kalau hasilnya cuma sedikit. Orang yang sedikit berusaha, tapi hasilnya banyak, kejadian langka di dunia. Tinggalkan malas, tanamkan kebiasaan berusaha..!
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan komentar... :)