Sejak dari awal kuliah, bayang-bayang PKL atau KKN di desa terpencil selalu menghantui. Diawali cerita pacar saya yang seorang senior tingkat 3 di kampus yang sudah harus menjalani PKL karena sisa umur mereka di kampus tinggal sesaat lagi, saya langsung merinding. Bagaimana....nanti...kalau...saya...yang...mengalaminya???? Biar waktu yang menjawab. *balik badan, ngibasin rambut, berjalan diiringi angin sepoi2*
Dan waktu itu telah tiba! Juni 2010, saatnya kami beraksi! Diawali dengan sebuah kejadian tak mengenakkan, di mana saat pembagian kelompok dengan teganya Pak Ketua Jurusan meletakkan nama saya di antara nama-nama lelaki 'gagah perkasa'. Hal pertama yang terpikir: Hai Bapak, bagaimana bisa saya menjadi satu-satunya yang cantik di kelompok itu?! Kemudian, secara berturut-turut, saya:
- Berimajinasi bagaimana kehidupan di desa nanti
- Masuklah bayangan kamar mandi yang ntah ada ntah gak
- Masuk lagi bayangan bagaimana kalau kebelet di tengah malam
- Atau kalau mau mandi
- Atau menyiapkan makanan
- Bersih-bersih
- dan kerjaan emak-emak lainnya
- Belum lagi tugas-tugas yang wajib dilakukan sebagai peserta PKL
Bagaimana bisa saya melewati semua itu dengan status sebagai satu-satunya perempuan di kelompok??! Dan perlahan-lahan saya yang cengeng ini pun menunjukkan jati diri sebenarnya sebagai seorang perempuan yang berhati lembut dan mudah terluka hatinya (halah!).
Biarlah kenangan buruk itu terlewati, singkat saja, akhirnya saya punya ceweeeeeeek!! Eh, ralat, teman cewek maksudnya. Atas bantuan Radel akhirnya kami mengadukan nasib kami ke Mahkamah Jurusan alias si Bapak dan dikabulkan! *syukuran 7 hari 7 malam*
Akhirnya inilah pasukan kami....
Dengan lokasi Desa Rante Besi Kecamatan Gunung Sitember, berangkatlah kami dari Kantor Bupati dengan diiringi ciuman dan pelukan haru dari sahabat-sahabat tersayang yang berbeda lokasi penempatan.
Durian di Rumah Bu Camat
Berangkat dari Kantor Bupati dengan 15 orang lainnya yang ditempatkan di kecamatan yang sama, kami sampai di rumah Bu Camat setelah menempuh perjalanan +/- 1 jam. Sampai di rumah Bu Camat dengan tubuh yang remuk redam setelah perjalanan dari pagi, semua mencari lapak masing-masing untuk meregangkan kaki, tangan, kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki (loh kok malah nyanyi?). Diberikan logistik berupa nasi bungkus dan disuguhi dessert berupa buah duren!
Tak disangkal lagi, Kabupaten Dairi merupakan salah satu Kabupaten penghasil durian terenak se Indonesia. Tapi yang dapat nama malah Medan, makanya orang lebih mengenal durian Medan daripada durian Dairi. Dan, menurut penduduk setempat, Kecamatan G. Sitember ini merupakan penghasil durian terbesar se Dairi. Untuk data benarnya silahkan dicek di BPS yah, kalau salah ya maaf.
Kembali ke durian, dikasih durian dua biji langsung diserbu hantu-hantu durian. Yang gak suka durian itu cuma si Kerol sama Dian. Yang gak ikut makan, paling karena jaim. Dan diserbulah 2 buah durian ini dengan kira-kira 15 orang hantu. Eh, orang apa hantu yang betul?
Tak disangkal lagi, Kabupaten Dairi merupakan salah satu Kabupaten penghasil durian terenak se Indonesia. Tapi yang dapat nama malah Medan, makanya orang lebih mengenal durian Medan daripada durian Dairi. Dan, menurut penduduk setempat, Kecamatan G. Sitember ini merupakan penghasil durian terbesar se Dairi. Untuk data benarnya silahkan dicek di BPS yah, kalau salah ya maaf.
Kembali ke durian, dikasih durian dua biji langsung diserbu hantu-hantu durian. Yang gak suka durian itu cuma si Kerol sama Dian. Yang gak ikut makan, paling karena jaim. Dan diserbulah 2 buah durian ini dengan kira-kira 15 orang hantu. Eh, orang apa hantu yang betul?
Berjalan di Gelap Malam Diiringi Suara Babi yang Kelaparan
Sampai di desa dengan diantar oleh Pak Kades, tibalah kami di sebuah kedai (warung). Di samping kedai ada gang, dari gang itulah kami akan bisa sampai ke rumah sementara kami. Sebuah rumah dinas pegawai puskesmas yang tak terpakai, dengan puskesmas yang kadang buka kadang gak persis di sebelahnya.
Berjalan di gang itu, sumpah suntuk luar biasa! Di tengah gelapnya malam, dengan bawaan yang super banyak, hanya ditemani setitik cahaya lampu teplok, kami menyusuri jalan.
Berjalan di gang itu, sumpah suntuk luar biasa! Di tengah gelapnya malam, dengan bawaan yang super banyak, hanya ditemani setitik cahaya lampu teplok, kami menyusuri jalan.
Yang membuat suasana semakin menyuntukkan, ada suara babi ngoik-ngoik menjadi backsound pengiring kami. Ya, babi. B-A-B-I. Bagi saya, tak peduli walau babi itu berwarna pink, merah, kuning, atau hijau, babi tetap babi, gak ada imut-imutnya. Si babi dengan seenaknya lari-lari di kandangnya yang sempit dan menimbulkan suara duk-duk-duk saat tubuhnya yang gendut itu menabrak batas kandangya sambil bersuara seperti orang terjepit. Tidak ada lucu-lucunya. Sedikitpun. Untunglah si babi milik Ibu kedai selalu di kandang. Dan beberapa hari setelahnya suara si babi tidak terdengar lagi. Ternyata si babi dipindah ke tempat lain di ladang mereka.
Tapi teror babi tidak berhenti di situ. Karena hampir semua penduduk memelihara babi. Babi yang melenggang dengan tubuhnya yang buntal di jalanan kadang terlihat. Bahkan lapangan luas depan rumah kami juga tak luput dari penampakan babi yang berjalan dengan santainya sambil menghirup udara bebas. Dasar babi.
Sungai Terindah di Dunia
Hari Minggu pertama di desa, kami kedatangan tamu. Horeeee..!!! Di tengah rasa sepi yang menusuk hati, kedatangan tamu merupakan hal yang sangat luar biasa menyenangkan. Logistik yang minim tak jadi masalah. Kayak kata wong jowo, mangan ora mangan asal nggosib, eh, ngumpul. Sambil nggosib pastinya.
Tamu kami kali ini 10 orang dari dua desa tetangga, yang tak lain adalah teman seperjuangan kami. Teringat cerita anak penduduk asli desa, tak jauh dari desa kami ada sungai yang indah (katanya). Dengan panduan anak-anak itu, kami pun mencari sungai itu.
Awal perjalanan masih senang, karena jalanan lurus-lurus saja. Setelah 1 km berjalan lurus, mulailah dia si jalan yang tak kejuntrungan arahnya! Melewati semak ilalang, masuk ke hutan dengan jalan sempit hanya muat 1 orang, kanan tebing tanah yang diikat akar-akar kokoh pepohonan, kiri jurang. Jalanan menurun, harus hati-hati supaya tidak terperosok dan pulang hanya tinggal nama.
Setelah berjuang antara hidup dan mati, kami pun sampai di tempatnya. Rasa 'senang luar biasa' menyelimuti hati kami. Sebuah sungai yang sangaaaat 'indah'. Rasanya ingin sekali saat itu menenggelamkan anak-anak itu. Kami tertipu! Yang kami dapatkan hanya sungai berair keruh dan ada titik yang merupakan 'hilir' dari toilet umum. Tak heran di sebuah jalur ada air yang terasa hangat, karena merupakan kumpulan dari 'buangan' manusia. Hueeekss........
Awal perjalanan masih senang, karena jalanan lurus-lurus saja. Setelah 1 km berjalan lurus, mulailah dia si jalan yang tak kejuntrungan arahnya! Melewati semak ilalang, masuk ke hutan dengan jalan sempit hanya muat 1 orang, kanan tebing tanah yang diikat akar-akar kokoh pepohonan, kiri jurang. Jalanan menurun, harus hati-hati supaya tidak terperosok dan pulang hanya tinggal nama.
Setelah berjuang antara hidup dan mati, kami pun sampai di tempatnya. Rasa 'senang luar biasa' menyelimuti hati kami. Sebuah sungai yang sangaaaat 'indah'. Rasanya ingin sekali saat itu menenggelamkan anak-anak itu. Kami tertipu! Yang kami dapatkan hanya sungai berair keruh dan ada titik yang merupakan 'hilir' dari toilet umum. Tak heran di sebuah jalur ada air yang terasa hangat, karena merupakan kumpulan dari 'buangan' manusia. Hueeekss........
Hiii.. Ada Begu Ganjang!
Teman-teman seperjuangan heboh! Ada isu begu ganjang di desa mereka. Tentu berdampak pada kami. Saya tidak bisa menebak gejolak apa yang ada di hati teman-teman. Buat saya, rasa ingin pulang sekarang juga sangat menggebu-gebu! Tapi saya sudah dinasehati mama supaya jangan sering-sering pulang, hanya boleh pulang saat waktunya selesai. Mengingat nasehat itu, saya tahan diri. Lebih rajin ngaji, dan sebisa mungkin tak meninggalkan solat, jangan sampai jauh dari Alloh swt.
Suatu malam, di saat isu itu masih gencar-gencarnya, saya mendengar sebuah suara yang biasa dikatakan sebagai suara kunti, dengan iringan suara penyanyi rock yang berteriak-teriak. Saya terbangun dan memarahi kaum lelaki yang memutar mp3 aneh-aneh di tengah malam di suasana mencekam. Akhirnya mereka menukar lagunya, dan saya kembali tidur. Besoknya, Kerol memutar lagu itu dan dia mengingatkan saya, "Lagu inilah yang kami putar semalam sampai bikin kau marah."
Saya dengarkan lagunya dengan seksama, tidak ada sedikitpun suara cekikan kunti di lagu itu. Berarti suara kunti yang saya dengar semalam.......... Saya tak berani mengungkapkan apa yang ada di pikiran kepada teman lain. Jangan sampai ketakutan menyelikuti kami. Saya harus berpikiran positif supaya mampu melalui semuanya. Positif. Positif.
Suatu malam, di saat isu itu masih gencar-gencarnya, saya mendengar sebuah suara yang biasa dikatakan sebagai suara kunti, dengan iringan suara penyanyi rock yang berteriak-teriak. Saya terbangun dan memarahi kaum lelaki yang memutar mp3 aneh-aneh di tengah malam di suasana mencekam. Akhirnya mereka menukar lagunya, dan saya kembali tidur. Besoknya, Kerol memutar lagu itu dan dia mengingatkan saya, "Lagu inilah yang kami putar semalam sampai bikin kau marah."
Saya dengarkan lagunya dengan seksama, tidak ada sedikitpun suara cekikan kunti di lagu itu. Berarti suara kunti yang saya dengar semalam.......... Saya tak berani mengungkapkan apa yang ada di pikiran kepada teman lain. Jangan sampai ketakutan menyelikuti kami. Saya harus berpikiran positif supaya mampu melalui semuanya. Positif. Positif.
Berbicara tentang keanehan-keanehan di rumah itu, teman-teman yang pernah menginap di rumah sementara kami itu mengaku pernah mendengar suara ketukan di jendela di tengah malam saat semua sudah tertidur. Hiiiiiiii...
Bangga Jadi Orang Batak
Desa yang mayoritas beretnis Karo, tidak terlalu jadi hambatan karena bahasa yang digunakan selain Bahasa Indonesia adalah Bahasa Batak, serta kadang Jawa. Tidak peduli kami ini anak siapa, di sana asal bertemu dengan orang yang marganya berkaitan dengan kami, pasti langsung dianggap keluarga.
Seorang bapak yang sering kami temui di Masjid, "Ritonga? Ibu di rumah Ritonga. Bou mu itu. Maenlah ke rumah kami."
Seorang ibu yang ditemui di pancuran, "Ritonga itu di sini sama dengan Pinem. Suamiku Pinem, berarti aku ini mamakmu."
Terharu. Di saat jauh dari keluarga, ada orang-orang yang menganggap saya bagian dari keluarga mereka. Tak peduli saya seorang muslim dan ibu di pancuran itu adalah penganut nasrani, saya dianggapnya sebagai anak. Walau hanya percakapan sambil lalu saat sedang mencuci di pancuran, berarti banyak buat saya. Terima kasih, mamak, bou, kakak, bapak, sekarang sumber air suu dekaaat.. (loh?!)
Sebulan di desa, memberikan banyak pelajaran. Salah satunya, uang adalah salah satu sumber kebahagiaan. Haha! Dengan uanglah kami pergi kemana-mana saat ada keperluan ataupun hanya ingin berjalan-jalan karena sedang suntuk. Dengan uanglah kami membeli logistik untuk dinikmati bersama. Selain itu, air adalah hal yang kadang dianggap kecil tapi sangat dibutuhkan dalam hidup, jadi berhentilah menghambur-hamburkan air. Yang terpenting, there is no place like home. Sebulan di desa membuatku sangat merindukan rumah dan segala sesuatu yang berada di dalamnya.
PKL, hal yang indah untuk dikenang, bukan untuk diulang. =)
PKL, hal yang indah untuk dikenang, bukan untuk diulang. =)
senang membaca pengalaman PKL anda di kampung kami,saya putra Gunung Sitember mengucapkan ''Jgn bosan utk datang kembali berkunjung..
ReplyDelete